Mulai bulan April, saya pindah domisili lagi, setelah setahun menetap di Jakarta, roda rezeki memanggil saya pulang. Hari-hari terakhir saya di Jakarta ini ingin saya habiskan dengan kegiatan yang belum pernah saya lakukan sebelumnya, seperti menyelam di Seaworld Ancol kemarin dan kali ini saya akan bercerita tentang pengalaman paralayang di Puncak.
Hari Selasa, 28 Maret 2017, saya putuskan untuk mencoba paralayang di puncak. Hari itu tanggal merah jadi saya dan Ardiyan berencana untuk pergi subuh-subuh dari Jakarta. Ardiyan sih ontime ya, setelah subuhan langsung jemput saya. Nah saya pas adzan subuh, masih geliat-geliat di kasur, terus mandinya sambil ngelamun dulu haha.
Saya juga sempat riweuh, karena baterai kamera yang saya charge dari semalam malah enggak penuh-penuh, ternyata ada kesalahn, setelah diotak-atik, akhirnya bisa juga sih. Tapi jadi cuma punya waktu kurang lebih setengah jam untuk mengisi dayanya.
Akhirnya kami jalan pukul enam kurang. Jalan tol sudah mulai rame tuh, untungnya pas keluar tol dan masuk Megamendung tidak macet jadi kami bisa sampe cepat di Masjid At-Taawun. Kami cari parkir dan sarapan di area masjid, sambil numpang isi daya baterai kamera saya.
Dari masjid, kami jalan turun kurang lebih sekitar 50 meter dan melewati tanjakan di tengah-tengah perkebunan teh yang menjadi jalan pintas langsung menuju tempat paralayang. Ternyata disana sudah banyak yang terbang loh, padahal baru sekitar jam 10an..
Berapa harganya ?
Rp 350.000/orang
Rp 150.000 harga sewa action cam.
Setelah mendaftarkan diri dan menandatangani surat pernyataan, kami berfoto sambil melihat yang terbang duluan. Disitu saya sempat tertarik untuk sewa action cam, karena kami Cuma bawa satu action cam dan kamera yang saya pegang itu DSLR dan digital biasa. Tapi karena mahal ya tidak jadi deh hhehhe.
Lalu kami pun masuk area landasan, saya dipasangi tas yang berfungsi sebagai harness dan dudukan saat terbang. Barang-barang bawaan bisa dimasukan ke tas tersebut. Setelahnya saya dikaitkan dengan pilotnya, lalu disuruh lari. Iya gitu aja, cepet banget deh, gg ada santai-santainya, enggak ada instruksi yang mendetail, udah disuruh lari aja.
Pas lari itu kan langsung turunan curam dan saya yang takut tinggi otomatis berteriak dan terbanglah saya. Whoaaa luar biasa banget deh pengalamannya, melihat jalur Puncak dari ketinggian, bukit-bukit, kebun teh, belum lagi sensasi digoyang angin, itu luar biasa sekali.
Kami berputar dan terbang, rasanya kaya Cuma lima menit deh saking bentarnya, tapi seru sih dan ketika mendarat, saya disuruh angkat kaki setinggi-tingginya dan dudukan tersebut dengan hentakan menyentuh tanah.
Nah setelah itu kami ditawari foto-foto ketika mendarat. Saya tadinya enggak mau, karena Rp 25.000/lembar. Tapi setelah lihat foto-fotonya kok bagus-bagus dan akhirnya kami ambil yang soft copy-nya saja Rp 15.000/foto.
Setelah itu, kami bingung, kok angkot yang akan membawa kami ke atas kok tidak ada. Ada ojek motor tapi kami bayar sendiri, Rp 40.000/orang. Akhirnya kami jalan ke atas, ke jalan raya dan disitu diberi tahu, angkotnya tidak bisa turun karena terjebak macet dan kami harus naik ojek/angkot dengan biaya sendiri.
Akhirnya kami naik angkot yang lewat, Rp 25.000 untuk dua orang. Eh nambah kesel lagi ketika angkot kami dilarang masuk kawasan paralayang, disitu saya bilang kalau kami baru selesai paralayang dan ditinggal di bawah, sedangkan barang-barang saya dititip di atas, gimana ceritanya saya enggak bisa masuk kan.
Setelah saya rada mengomel, angkot kami pun diperbolehkan masuk. Di meja pendaftaran dan penitipan barang, sambil berusaha menahan emosi, saya komentar kenapa kami ditinggal di bawah dan untuk naik ke atas harus bayar sendiri.
“Masa kami ditinggal Pak, bukannya biaya tersebut sudah termasuk naik kembali ke pendaftaran ya”
“Kalau hari libur memang begitu, saya enggak bisa jamin untuk transportasi naiknya, mesti naik ojek bayar masing-masing”
“Lah tadi kan mbaknya pilih-pilih foto”
“Loh, kalau bapak bilang itu angkot terakhir ya saya buru-buru, enggak ada yang kasih tahu atau bilang-bilang kalau itu angkot terakhir, logikanya kan setiap wisatawan mesti dinaikin lagi ke atas.”
Lalu saya bilang bahwa tadi kami menandatangani surat pernyataan membebaskan pengelola dari segala tuntutan kecelakaan tapi pengelola lepas tangan dari kondisi wisatawan setelah mendarat, sedangkan parkiran, penitipan barang di tempat lepas landas. Ditambah layanan foto kan hubungan simbiosis dengan paralayang itu sendiri, tapi disalahkan menjadi penyebab kami tidak bisa naik. Sungguh bentuk manajemen pengelolaan wisata yang tidak menyeluruh. Mereka hanya manggut-manggut seolah kritik saya adalah hal yang sudah biasa mereka dengar.
Saya senang dan mendapatkan pengalaman baru melalui paralayang ini, meskipun kurang dari 10 menit, tapi sesuatu yang layak dicoba. Hanya saja pelayanan dari para operatornya memberikan kesan yang kurang enak, menjadikan penilaian saya terhadap wisata ini terbagi. Semoga saja kedepannya operator paralayang di Puncak memperbaiki pelayanannya agar wisata tersebut semakin maju dan meninggalkan kesan positif bagi para wisatawan.
xxxChuu original by ra~ccon.